PENDAHULUAN
Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan
kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu oleh para ahli hukum Yunani
maupun Romawi dengan membuat berbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada
akar-akar filsafatnya. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori
filsafat dan politik umum, sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam
bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak
dalam metode dan penekanannya. Teori hukum dari ahli hukum modern didasarkan
atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
PEMBAHASAN
Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia
Menurut Paul Scholten,
asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang
sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang sebagai penjabarannya. Pada
umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk yang konkrit, misalnya “asas
konsensualitas” yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu, “sepakat
mereka yang mengikatkan diri”. Untuk menemukan asas hukum dicarilah
sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit.
Dalam tulisannya Johannes Gunawan
menyebutkan, ada Asas-asas Hukum Kontrak yang tersirat dalam Kitab KUHPerdata,
yaitu, Asas Kebebasan Berkontrak,
Asas Mengikat Sebagai Undang undang,
Asas Konsensualitas, dan Asas Itikad
Baik. Dalam hal Teori Hukum yang dikaitkan dengan studi kasus putusan
Mahkamah Agung, penulis akan mengaitkan teori kebebasan berkontrak dengan kasus
yang tersebut dibawah ini, Yang dalam penjabarannya adalah sebagai berikut:
1.
Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom
of Contract),
Latar
belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya
paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman
Yunani yang kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan
berkembang pesat pada zaman renaissance melalui
ajaran-ajaran antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau.
Asas Kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas
mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati.
Menurut Subekti dalam Bukunya Hukum
Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa
setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan
macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
keteriban umum. Kebebasan berkontrak bukan berarti para pihak dapat membuat
kontrak (perjanjian) secara bebas, akan tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat
sahnya pernjanjian, baik syarat umum sebagaimana yang ditentukan oleh pasal
1320 KUHPerdata, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.
Pendekatan terhadap asas kebebasan
berkontrak berdasarkan hukum alam, dikemukakan oleh Hugo de Groot dan Thomas
Hobbes. Grotius sebagai penganjur terkemuka dari ajaran hukum alam berpendapat
bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi manusia. Ia beranggapan,
suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang
berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang lain itu menerimanya.
Kontrak lebih dari sekedar janji karena suatu janji tidak dapat
memberikan hak kepada pihak lain atas pelaksanaan janji itu. Selanjutnya Hobbes menyatakan bahwa
kebebasan berkontrak sebagai kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak adalah
metode dimana hak-hak fundamental manusia dapat dialihkan.
Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan
berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak
membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak
tersebut. Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya
menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak
bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan. Subekti dalam bukunya
Pokok-pokok Hukum Perdata, juga menyebutkan pada umumnya juga boleh
mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III karena Buku
III merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend
recht) bukan hukum keras atau hukum yang memaksa. Secara Historis
kebebasan berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu:
a.
kebebasan para pihak menutup atau tidak
menutup kontrak;
b.
kebebasan menentukan dengan siapa para
pihak akan menutup kontrak;
c.
kebebasan para pihak menetukan bentuk
kontrak;
d.
kebebasan para pihak menentukan isi
kontrak;
e.
kebebasan pada pihak menentukan cara
penutupan kontrak.
Menurut
Felix.O. Soebagjo, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti
dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang
diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Dengan demikian kita
melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUHPerdata, akan
tetapi bersifat universal.
2. Asas Mengikat Sebagai Undang undang,
Pacta Sun
Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya
atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati. Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya dan
perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
para pihak atau karena alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dan perjanjian harus dilakukan dengan itikat baik. Suatu hal yang penting yang
patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Asas hukum ini, telah meletakan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat
menjadi undang-undang baginya sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur
dalam perjanjian.
Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan
yang tak terbatas, karena tetap ada batasannya dan akan ada akibat hukum yang
timbul terhadap kebebasan yang tak terbatas itu. Sutan Remi Sjahdeini,
menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu kontrak
melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy,
maka kontrak tersebut menjadi illegal. Apa yang dimaksud dengan public
policy amat tergantung kepada nilai-nilai yang ada dalam suatu
masyarakat
PEMBAHASAN
DUDUK
PERKARA
Bahwa pada saat Penggugat berada di
Rutan Polda Metro Jaya, seorang Notaris menyodorkan akta dengan nomor 41 dan 42
untuk ditanda tangani, yang isinya yaitu Penggugat mempunyai hutang kepada
Tergugat sebesar Rp. 215.837.852.000.- dan menandatangani permohonan memnuka
rekening pada Tergugat serta Giro Bilyet senilai Rp 20.000.000.000,- dan Rp.
15.000.000.000.
Dalam dalilnya Hakim berpendapat bahwa
azas kebeban berkontrak tidak bersifat mutlak yang berarti dalam keadaan
tertentu Hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti serta menyatakan
bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang
tidak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan
kehendaknya seolah-olah perjanjian terjadi secara sepihak. Mengingat sistem
hukum perjanjian yang bersifat terbuka, maka pada waktu terjadi suatu
perjanjian yang berlaku tidak hanya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
hukum adat saja, tetapi nilai-nilai hukum lainnya yang hidup dikalangan rakyat
lainnya sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan seperti
penyalahgunaan keadaan atau larangan penyalahgunaan ekonomi yang berlaku secara
berdampingan dan saling mengisi sehingga merupakan suatu satu kesatuan. Oleh
karena itu nilai-nilai yang dimaksud mempunyai pengaruh yang dapat dipakai
sebagai upaya terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati (Vide Proyek
Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum M.A. Hal 360).
Bahwa penandatanganan perjanjian dalam
akta perjanjian No. 41 dan 42 oleh
pemohon kasasi ketika ia berada dalam tahanan adalah terjadi karena ada
penyalah gunaan keadaan atau kesempatan, sehingga pemohon kasasi sebagai salah
satu pihak dalam perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dalam keadaan
tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Berarti akibat hukum yang dibuat
sebagaimana tersebut dalam perjanjian yang tercantum dalam akta perjanjian No.
41 dan 42 tersebut beserta perjanjian lainnya yang terbit atau dibuat
berdasarkan kedua perjanjian tersebut harus dibatalkan.
Bahwa keberadaan ini dapat dibenarkan
karena menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Bahwa Kaidah hukum yang dikeluarkan
dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut yaitu:
1.
Dalam asas kebebasan berkontrak, Hakim
berwenang untuk meneliti dan menyatakan bahwa kedudukan para pihak berada dalam
yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan
kehendaknya;
2.
Dalam perjanjian yang bersifat terbuka,
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan kepatutan,
keadilan, perikemanusiaan dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap
ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perjanjian.
KAITAN
TEORI HUKUM DENGAN KASUS PERJANJIAN DIATAS
Paham individualisme secara embrional
lahir pada zaman Yunani yang kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan
berkembang pesat pada zaman renaissance melalui
ajaran-ajaran antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau.
Dari teori inilah dapat kita ketahui pertama kali bahwa paham individualismelah
yang menjadi dasar pemberlakuan kebebasan berkontrak dan dituangkan dalam pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata. Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak
dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati.
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengenai kebebasan berkontrak, yang menyatakan bahwa “segala perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam hal ini
masyarakat dapat bebas melakukan suatu perjanjian dengan tentu tidak melupakan
Pasal 1320 Kitab undang-Undang Hukum Perdata yang merupakan syarat sahnya suatu
Perjanjian.
Ketika akan melakukan suatu perjanjian
dengan mengacu pada 1320 BW dan 1338 BW maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah tinggal bagaimana dalam
implementasiannya oleh para pihak.
Bahwa dengan adanya Pasal 1338 BW yang
memberikan kebebasan bagi para pihak dalam melakukan perjanjian selama mengacu
pasal Pasal 1320 BW, secara eksplisit
juga telah sama dengan paham individualisme.
Bahwa dalam pembahasan ini akan dibahas
mengenai ketika telah sesuainya suatu kasus dengan teori kebebasan berkontrak
pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dan sesuai juga dengan syarat sahnya perjanjian
1320 BW, namun dibalik kesesuaian tersebut ketika dilakukannya Penandatangan
satu pihak sedang dibawah tekanan, apakah
hal tersebut bisa membuat suatu perjanjian yang telah dibuat dan ditanda
tangani berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat menjadi batal demi
hukum?
Bahwa
dalam hal ini dapat dijawab dengan teori yang di sampaikan Subekti
dalam Bukunya Hukum Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas
yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak
(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan keteriban umum.
Bahwa dalam hal ini suatu perjanjian
dibuat dibawah tekanan yaitu salah satu pihak sedang dipenjara, dengan berbagai
macam problematika yang ia rasakan dan dipaksa untuk melakukan penandatanganan
perjanjian. disinilah ketidak sesuaian dengan Teori diatas karena perjanjian
dibuat yang merupakan penjelmaan dari rakyat yang individual namun tetap
mengindahkan kepada ketertiban umum.
Bahwa memang benar tidak dikatakan
secara eksplisit dalam undang-undang pasal 1338 ayat (1) mengenai ketika
bertentangan dengan “kesusilaan dan
keteriban umum” maka batal demi hukum. Namun dalam kasus ini yang menarik adalah
adanya kaidah hukum yang dibuat oleh Hakim yang menyatakan bahwa “kebebasan
berkontrak tidak berlaku secara mutlak”. Hal ini lah yang membuat suatu
perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan dan keteriban umum, menyebabkan
suatu perjanjian batal. Hakim sebagai pihak yang dapat menemukan hukum ketika
suatu peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara jelas, dirasa sangat
adil pada kasus ini terhadap Penggugat yang telah dirugikan besar akibat
penandatanganan suatu akta notaril yang ia tanda tangani dibawah tekanan. Dan
dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus yang akan datang.
Sekian pendapat dari penulis, Terima Kasih.
Casinos near Casino Center - MapYRO
BalasHapusCasinos Near Casino Center in Council Bluffs, IA 공주 출장마사지 51501. The 의왕 출장마사지 following are known casinos with 전라남도 출장마사지 Casinos Near Casino Center 제주 출장샵 in Council Bluffs, IA. Casinos Near Casino 사천 출장샵 Center - MapYRO