Senin, 24 Oktober 2016

Penemuan Hukum Putusan MK nomor 003/PUU-IV/2006

Pada tanggal 24 Juli 2006, MK melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan untuk menyatakan sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor Nomor 31 tahun 1999 bertentangan dengan konstitusi. Kalimat tersebut berbunyi:
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Apapun pertimbangan pokok mengapa menurut MK kalimat penjelas dari apa yang dimaksud dari “secara melawan hukum” dari Pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan konstitusi khusunya Pasal 28D ayat (1) adalah sebagai berikut:
Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam Undang-Undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederredhtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang disatu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, didaerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan hukum. 
Bahwa pada sengketa Perbuatan Melawan Hukum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor yang dianggap bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D ayat (1) yang dalam pertimbangan Putusan MK melahirkan norma baru tersebut dalam opini penulis tidak mencerminkan dan cenderung untuk kepentingan umum dan hanya berdasarkan Peraturan di Indonesia bahwa Hukum Tertulis merupakan hukum yang utama di Indonesia. Bahwa secara langsung juga MK tidak mengindahkan adanya hukum tidak tertulis atau norma yang hidup tanpa ditulis dalam peaturan perundang-undangan namun diterima dan diakui oleh masyarakat. Diterima dan diakuinya suatu hukum dimasyarakat dianggap penting karena hukum untuk rakyat dan kembali ke rakyat. Hukum dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat, jika hukum tersebut diterima dan diakui, secara langsung maka hukum tersebut dapat ditaati oleh masyarakat. Bukankah pentaatan suatu peraturan perundang undang-undangan merupakan tujuan hakiki oleh pembuatan hukum yaitu pemerintah? Agar masyarakat dapat hidup damai dan sejahtera.
Dalam hal lain pun juga berlakunya kaidah hukum didasarkan adanya “pengakuan” atau diterima dan diakui dengan sendiri oleh masyarakat merupakan dasar berlakunya peraturan perundang-undangan secara Sosiologis. Bahwa suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.
Bahwa jika suatu hukum yang walaupun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan namun diterima oleh masyarakat, hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan dalam jati diri masyarakat Indonesia. Sama halnya dengan suatu peraturan perundang-undangan. Jika dalam suatu peraturan perundang-undangan maksud dan tujuannya jelas, dan juga tujuannya juga seperti UU Tipikor diatas ingin benar-benar memberantas tindak pidana korupsi dengan jangkauan yang luas, walaupun tidak tertulis namun didukung oleh masyarakat yang ingin  negaranya bersih dari pihak-pihak yang senang mengambil uang rakyat, saya rasa hal tersebut tidak seharusnya dihilangkan mengingat kepentingan umum dan rakyat lebih banyak didalamnya ketimbang hanya mendasarkan argument terhadap undang-undang yang tidak jelas, tidak memiliki kepastian hukum dan tidak memiliki tolak ukur yang pasti.
Bahwa dalam suatu penyelesaian sengketa kasus terutama dalam pidana, suatu kepastian hukum itu tidak dapat diakumulasikan bahwa dengan tidak adanya undang-undang yang jelas sebagai patokan serta merta tidak memiliki kepastian hukum didalamnya. Bahwa menurut hemat penulis, apa gunanya pemerintah yang dapat mengeluarkan undang-undang sesuai kebutuhan masyarakat yang walaupun terkadang sesuai hanya untuk kepentingan mereka. Bagaimana dengan kewenangan Presiden yang dapat mengeluarkan Perpu yang pembuatannya juga tidak memakan waktu lama dan ketika mendesak sudah barang tentu dapat diwujudkan tentu dengan alasan yang jelas. Bahwa bagaimana dengan penemuan hukum yang sangat dapat dilakukan oleh para penegak hukum baik pengacara, jaksa bahkan hakim yang memang menjadi kewajibannya menyelesaikan sengketa-sengketa kasus meskipun tidak memiliki dasar undang-undang tidak boleh ditolak perkaranya.
Bahwa hal itulah yang sebenarnya jika para penanggung jawab Negara ini jika memang benar-benar ingin membuat masyarakat damai sejahtera, peradilan bersih, hal-hal yang dapat membuat pertentangan yang tidak terlalu besar namun banyak keuntungannya untuk masyarakat alangkah baiknya di pertahankan dan lebih dikembangkan dengan pembuatan undang-undang yang lebih jelas lagi dengan adanya perubahan atau revisi undang-undang Tipikor dan bukan malah menghilangkan suatu materi penting yang dapat dijadikan sebagai nadi untuk menggapai suatu perkara yang sebenarnya tidak dapat digapai jika hanya base on formil tertulis di atas kertas.
Bahwa dalam putusan MK selain pertentangan terhadap masyarakat yang menganggap putusan tersebut tidak berpihak pada kepentingan umum, pada pertimbangan MA dalam putusan No. 2214 K/Pid/2006 menyatakan bahwa tetap menfasirkan melawan hukum secara materil dengan cara memutar melalui doktrin dan yurisprudensi. Artinya bahwa pengadilan tetap saja bisa menafsirkan melawan hukum secara materil dengan menggunakan doktrin dan yurisprudensi.
Berbeda halnya dengan Putusan MK yang membuat kontroversi lainnya adanya penetapan perluasannya objek Praperadilan dan bukti permulaan yang cukup dalan pemeriksaan calon tersangkan. MK mengabulkan sebagai permohonan terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang sebelumnya memohon pengujian Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP terkait ketentuan penetapan seorang sebagai tersangka dalam proses penyidikan dan objek preperadilan. Dalam putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti  permulaan”, bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Sedangkan Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Artinya bahwa MK telah memberikan penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknaik dengan 2 alat bukti ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Bahwa sebaliknya terhadap putusan MK yang menganggap perbuatan melawan hukum materiil terhadap Undang-Undang Tipikor bertentangan dengan konstitusi, Perluasan penetapan obyek Praperadilan dengan menambahkan penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan dan juga memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup menurut penulis telah cenderung kearah kepentingan public. Hal ini karena tentu tidak awan lagi bahwa sebelum adanya putusan MK pada tahun 2014 tersebut, telah banyak polemic terkait penetapan tersangka yang “semena-mena” baik yang dilakukan oleh penyidik di Kepolisian dan juga penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak jarang membuat mata terbelalak mengenai penetapan tersangka yang banyak dilihat dari berbagai pihak bahwa penetapan tersangkan tersebut merupakan “politik” ingin menghancurkan pihak yang tiba-tiba dijadikan tersangka itu, tanpa menjelaskan dengan jelasnya baik kepada pihak tersangka maupun masyarakat mengenai dasar penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak penyidik dan langsung ditahan begitu saja ayng sudah tentu nama baik akan rusak seketika. Selain itu juga dalam hal penetapan tersangka, acap kali Penggeledahan dan penyitaan dilakukan tanpa berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dalam hal ini KUHAP dimana ketika ada bukti permulaan walaupun “hanya” satu sudah langsung melakukan penggeledahan dan penyitaan yang nantinya “untuk penetapan tersangka lebih lanjut” tanpa berpedoman tegas melalui Undang-Undang yang berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Bahwa dianggap cenderung untuk kepentingan umum disini, sudah seharusnya pemerintah melihat ke rakyatnya, polisi sebagai aparat Negara yang akan melakukan penyidikan nantinya telah banyak melakukan pelanggaran terhadap KUHAP dan tidak ada yang mengajukan judicial review sampai tahun 2014 dan hanya menerima perlakuan dari penyidik yang dianggap wakil pemerintah untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, dengan perkembangan juga telah banyak menimbulkan keresahan masyarakat ditambah lagi dalam penetapan tersebut tidak mengindahkan asas Hak Asasi Manusia yang didapat sudah sejak lahir. Hal ini harus dipandang pihak penyidik bukan untuk mempersulit jalannya penyidik untuk melakukan penyidikan, namun membuat penyidik lebih berhati-hati, lebih melihat hak-hak tersangka sesuai dengan KUHAP karena selama ini telah cukuplah pihak penyidik dengan telah melakukan sewenang-wenang kepada mereka yang masih “diduga” melakukan tindak pidana dan belum ada putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Bukan tanpa konflik dan kontroversi juga dalam putusan MK ini dengan dikatakan mempersulit dalam hal menindak lanjuti yang melakukan pelanggaran undang-undang. Hal ini sah-sah saja dilakukan oleh penyidik untuk menindak lanjuti pihak yang melanggar undang-undang, namun bukan berarti mereka tidak mendapatkan hak asasi manusia mereka kan? Dengan melihat tindakan penyidik ini dan melihat putusan MK yang merupakan suatu penemuan yang sangat penting terhadap masyarakat untuk mengadu kepada peradilan dimana ketidak adilan dan ketidak sesuaianya dilakukan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini menang lebih ditujukan kepada penyidik karena penyidik merupakan pintu masuk awal dari proses peradilan di Indonesia. Penyidikan yang dilakukan penyidik juga berhubungan langsung dengan minimum dua alat bukti tadi untuk melakukan penetapan tersangka.
Bahwa dapat dilihat bahwa putusan MK tidak selalu melihat kepentingan umum dan ada juga melihat konstitusional tergantung bagaimana hakim MK dalam memutuskan. Kita sebagai pihak yang akan menerimanya sebaiknya juga tidak menerima begitu saja, bisa juga dilakukan kritik-kritik sehingga Indonesia dapat terus berkembang menjadi lebih baik.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar