Pada
tanggal 24 Juli 2006, MK melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah
memutuskan untuk menyatakan sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
Tipikor Nomor 31 tahun 1999 bertentangan dengan konstitusi. Kalimat tersebut
berbunyi:
“Yang dimaksud
dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
Apapun
pertimbangan pokok mengapa menurut MK kalimat penjelas dari apa yang dimaksud
dari “secara melawan hukum” dari Pasal 2 ayat (1) bertentangan dengan
konstitusi khusunya Pasal 28D ayat (1) adalah sebagai berikut:
Penjelasan
dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2
ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru,
yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam Undang-Undang
secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang
demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai
jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran
melawan hukum dalam hukum pidana (wederredhtelijkheid).
Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa
keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke
daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang disatu daerah merupakan
perbuatan yang melawan hukum, didaerah lain boleh jadi bukan merupakan
perbuatan melawan hukum.
Bahwa
pada sengketa Perbuatan Melawan Hukum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Tipikor yang dianggap bertentangan dengan konstitusi khususnya
Pasal 28D ayat (1) yang dalam pertimbangan Putusan MK melahirkan norma baru
tersebut dalam opini penulis tidak mencerminkan dan cenderung untuk kepentingan
umum dan hanya berdasarkan Peraturan di Indonesia bahwa Hukum Tertulis
merupakan hukum yang utama di Indonesia. Bahwa secara langsung juga MK tidak
mengindahkan adanya hukum tidak tertulis atau norma yang hidup tanpa ditulis
dalam peaturan perundang-undangan namun diterima dan diakui oleh masyarakat.
Diterima dan diakuinya suatu hukum dimasyarakat dianggap penting karena hukum
untuk rakyat dan kembali ke rakyat. Hukum dibuat untuk mengatur tingkah laku
masyarakat, jika hukum tersebut diterima dan diakui, secara langsung maka hukum
tersebut dapat ditaati oleh masyarakat. Bukankah pentaatan suatu peraturan
perundang undang-undangan merupakan tujuan hakiki oleh pembuatan hukum yaitu
pemerintah? Agar masyarakat dapat hidup damai dan sejahtera.
Dalam
hal lain pun juga berlakunya kaidah hukum didasarkan adanya “pengakuan” atau
diterima dan diakui dengan sendiri oleh masyarakat merupakan dasar berlakunya
peraturan perundang-undangan secara Sosiologis. Bahwa suatu peraturan
perundang-undangan dikatakan mempunyai
landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum
atau kesadaran hukum masyarakat. Penting agar perundang-undangan yang dibuat
ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Hukum yang
dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat.
Bahwa
jika suatu hukum yang walaupun tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan namun diterima oleh masyarakat, hal tersebut merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihilangkan dalam jati diri masyarakat Indonesia. Sama
halnya dengan suatu peraturan perundang-undangan. Jika dalam suatu peraturan
perundang-undangan maksud dan tujuannya jelas, dan juga tujuannya juga seperti
UU Tipikor diatas ingin benar-benar memberantas tindak pidana korupsi dengan
jangkauan yang luas, walaupun tidak tertulis namun didukung oleh masyarakat
yang ingin negaranya bersih dari
pihak-pihak yang senang mengambil uang rakyat, saya rasa hal tersebut tidak
seharusnya dihilangkan mengingat kepentingan umum dan rakyat lebih banyak
didalamnya ketimbang hanya mendasarkan argument terhadap undang-undang yang
tidak jelas, tidak memiliki kepastian hukum dan tidak memiliki tolak ukur yang
pasti.
Bahwa
dalam suatu penyelesaian sengketa kasus terutama dalam pidana, suatu kepastian
hukum itu tidak dapat diakumulasikan bahwa dengan tidak adanya undang-undang
yang jelas sebagai patokan serta merta tidak memiliki kepastian hukum
didalamnya. Bahwa menurut hemat penulis, apa gunanya pemerintah yang dapat
mengeluarkan undang-undang sesuai kebutuhan masyarakat yang walaupun terkadang
sesuai hanya untuk kepentingan mereka. Bagaimana dengan kewenangan Presiden
yang dapat mengeluarkan Perpu yang pembuatannya juga tidak memakan waktu lama
dan ketika mendesak sudah barang tentu dapat diwujudkan tentu dengan alasan
yang jelas. Bahwa bagaimana dengan penemuan hukum yang sangat dapat dilakukan
oleh para penegak hukum baik pengacara, jaksa bahkan hakim yang memang menjadi
kewajibannya menyelesaikan sengketa-sengketa kasus meskipun tidak memiliki
dasar undang-undang tidak boleh ditolak perkaranya.
Bahwa
hal itulah yang sebenarnya jika para penanggung jawab Negara ini jika memang
benar-benar ingin membuat masyarakat damai sejahtera, peradilan bersih, hal-hal
yang dapat membuat pertentangan yang tidak terlalu besar namun banyak
keuntungannya untuk masyarakat alangkah baiknya di pertahankan dan lebih
dikembangkan dengan pembuatan undang-undang yang lebih jelas lagi dengan adanya
perubahan atau revisi undang-undang Tipikor dan bukan malah menghilangkan suatu
materi penting yang dapat dijadikan sebagai nadi untuk menggapai suatu perkara
yang sebenarnya tidak dapat digapai jika hanya base on formil tertulis di atas
kertas.
Bahwa
dalam putusan MK selain pertentangan terhadap masyarakat yang menganggap
putusan tersebut tidak berpihak pada kepentingan umum, pada pertimbangan MA
dalam putusan No. 2214 K/Pid/2006 menyatakan bahwa tetap menfasirkan melawan
hukum secara materil dengan cara memutar melalui doktrin dan yurisprudensi.
Artinya bahwa pengadilan tetap saja bisa menafsirkan melawan hukum secara
materil dengan menggunakan doktrin dan yurisprudensi.
Berbeda
halnya dengan Putusan MK yang membuat kontroversi lainnya adanya penetapan perluasannya
objek Praperadilan dan bukti permulaan yang cukup dalan pemeriksaan calon
tersangkan. MK mengabulkan sebagai permohonan terpidana korupsi kasus proyek
biomediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah yang sebelumnya memohon pengujian
Pasal 1 angka 2 dan angka 14, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29,
Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP terkait ketentuan
penetapan seorang sebagai tersangka dalam proses penyidikan dan objek
preperadilan. Dalam putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat
terhadap frasa “bukti permulaan”, bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17,
dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai
Pasal 184 KUHAP. Sedangkan Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional
bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan
penyitaan. Artinya bahwa MK telah memberikan penafsiran konstitusional terhadap
bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknaik dengan 2 alat bukti ketika
menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, MK telah memperluas objek
praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Bahwa
sebaliknya terhadap putusan MK yang menganggap perbuatan melawan hukum materiil
terhadap Undang-Undang Tipikor bertentangan dengan konstitusi, Perluasan
penetapan obyek Praperadilan dengan menambahkan penetapan tersangka, penyitaan
dan penggeledahan dan juga memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti
permulaan yang cukup menurut penulis telah cenderung kearah kepentingan public.
Hal ini karena tentu tidak awan lagi bahwa sebelum adanya putusan MK pada tahun
2014 tersebut, telah banyak polemic terkait penetapan tersangka yang
“semena-mena” baik yang dilakukan oleh penyidik di Kepolisian dan juga penyidik
pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak jarang membuat mata
terbelalak mengenai penetapan tersangka yang banyak dilihat dari berbagai pihak
bahwa penetapan tersangkan tersebut merupakan “politik” ingin menghancurkan
pihak yang tiba-tiba dijadikan tersangka itu, tanpa menjelaskan dengan jelasnya
baik kepada pihak tersangka maupun masyarakat mengenai dasar penetapan
tersangka yang dilakukan oleh pihak penyidik dan langsung ditahan begitu saja
ayng sudah tentu nama baik akan rusak seketika. Selain itu juga dalam hal
penetapan tersangka, acap kali Penggeledahan dan penyitaan dilakukan tanpa
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku dalam hal ini KUHAP dimana ketika ada
bukti permulaan walaupun “hanya” satu sudah langsung melakukan penggeledahan
dan penyitaan yang nantinya “untuk penetapan tersangka lebih lanjut” tanpa
berpedoman tegas melalui Undang-Undang yang berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Bahwa
dianggap cenderung untuk kepentingan umum disini, sudah seharusnya pemerintah
melihat ke rakyatnya, polisi sebagai aparat Negara yang akan melakukan
penyidikan nantinya telah banyak melakukan pelanggaran terhadap KUHAP dan tidak
ada yang mengajukan judicial review sampai tahun 2014 dan hanya menerima
perlakuan dari penyidik yang dianggap wakil pemerintah untuk menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat. Namun, dengan perkembangan juga telah banyak
menimbulkan keresahan masyarakat ditambah lagi dalam penetapan tersebut tidak
mengindahkan asas Hak Asasi Manusia yang didapat sudah sejak lahir. Hal ini
harus dipandang pihak penyidik bukan untuk mempersulit jalannya penyidik untuk
melakukan penyidikan, namun membuat penyidik lebih berhati-hati, lebih melihat
hak-hak tersangka sesuai dengan KUHAP karena selama ini telah cukuplah pihak
penyidik dengan telah melakukan sewenang-wenang kepada mereka yang masih
“diduga” melakukan tindak pidana dan belum ada putusan hakim yang memiliki
kekuatan hukum tetap.
Bukan
tanpa konflik dan kontroversi juga dalam putusan MK ini dengan dikatakan
mempersulit dalam hal menindak lanjuti yang melakukan pelanggaran
undang-undang. Hal ini sah-sah saja dilakukan oleh penyidik untuk menindak
lanjuti pihak yang melanggar undang-undang, namun bukan berarti mereka tidak
mendapatkan hak asasi manusia mereka kan? Dengan melihat tindakan penyidik ini
dan melihat putusan MK yang merupakan suatu penemuan yang sangat penting
terhadap masyarakat untuk mengadu kepada peradilan dimana ketidak adilan dan
ketidak sesuaianya dilakukan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini menang
lebih ditujukan kepada penyidik karena penyidik merupakan pintu masuk awal dari
proses peradilan di Indonesia. Penyidikan yang dilakukan penyidik juga
berhubungan langsung dengan minimum dua alat bukti tadi untuk melakukan
penetapan tersangka.
Bahwa
dapat dilihat bahwa putusan MK tidak selalu melihat kepentingan umum dan ada
juga melihat konstitusional tergantung bagaimana hakim MK dalam memutuskan.
Kita sebagai pihak yang akan menerimanya sebaiknya juga tidak menerima begitu
saja, bisa juga dilakukan kritik-kritik sehingga Indonesia dapat terus berkembang
menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar