Senin, 24 Oktober 2016

Legal Memorandum Jual Beli Tanah Yang Sedang Sengketa

Re       : Legal Memorandum
Ref      : Jual Beli Tanah Yang Sedang Sengketa
Loc      : Sleman Yogyakarta
Date    : Update September 2016

Daftar Isi
1.     Posisi Kasus;
2.     Pokok Permasalahan;
3.     Fakta-Fakta Hukum;
a.     Rujukan Peraturan Perundang-Undangan;
b.     Putusan Pengadilan sebagai Yurisprudensi;
4.     Analisa Yuridis (Penerapan Aturan Hukum Pada Kasus);
5.     Kesimpulan.

Posisi Kasus:
1.     Bahwa pada awalnya telah terjadi pernikahan antara Poniyem dengan Kadir 1 Agustus 1950, yang dalam pernikahan tersebut telah lahir 5 orang anak yang masing-masing bernama Alit, Badu, Cipto, Cempaka, dan Dita dan tinggal di Ngagruk – Ngaglik – Sleman Yogyakarta;
2.     Bahwa pada tahun 1960 tepatnya pada bulan Desember tanggal 1, Kadir meninggal dunia;
3.     Bahwa Poniyem melangsungkan pernikahan lagi dengan Sardjono sekitar tahun 1962 dan pada tahun 1975 Sardjono meninggal dunia;
4.     Bahwa selanjutnya Poniyem menikah lagi dengan Pawiro pada 8 September 1976 dan bertempat tinggal di Condong Catur Depok – Sleman, Yogyakarta. Selama pernikahan tersebut terjadi Poniyem dan Pawiro tidak memiliki anak sampai dengan meninggalnya Pawiro pada 7 Juli 1980;
5.     Bahwa selama pernikahan tersebut, Poniyem dan Pawiro membeli beberapa bidang tanah yang disebut 4 Persil yang dimasukkan dalam Letter C No. 290/Kld. Atas nama Poniyem, dimana ke 4 persil (4 bidang tanah) tersebut di sebut girik C No. 290/kld;
6.     Bahwa setahun setelah meninggalnya Pawiro, pada tahun 1981 tepatnya 5 Januari pada saat itu Poniyem menjual 2 bidang tanahnya kepada Yayasan Amerta;
7.     Bahwa disisi lain anak-anak Poniyem yang berjumlah 5 orang dari pernikahan dengan Kadir, mengurus Penetapan ahli waris untuk mendapatkan harta dari pernikahan Ibunya yaitu Poniyem dengan bapak tirinya yaitu Pawiro, dimana setelah mendapatkan surat keterangan kematian (Pawiro) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa Sukaharjo dan/atau Kecamatan Ngaglik dan selanjutnya mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Negeri Sleman dan berhasil mendapatkan “Penetapan Ahli Waris”;
8.     Bahwa dalam Penetapan Ahli Waris tersebut ditetapkan Alit dkk adalah anak dari perkawinan Poniyem dengan Pawiro dan mereka berhak atas harta peninggalan Pawiro selama menikah dengan Poniyem (yang merupakan ibu kandung dari Alit dan adik-adiknya);
9.     Bahwa setelah adanya penetapan ahli waris, Alit dan adik-adiknya merasa memiliki wewenang terhadap tanah Poniyem dan Pawiro. Selanjutnya Alit dan adik-adiknya mengajukan gugatan kepada Yayasan Amerta mengenai tanah 2 bidang yang dibeli Yayasan Amerta dari ibu Alit dkk yaitu Poniyem. Dan Yayasan Amerta pun tidak tinggal diam, dan mengajukan gugatan balik/rekonvensi kepada Alit dan adik-adiknya.
10.  Bahwa dalam mengajukan gugatan balik tersebut, PN Sleman memutuskan gugatan Yayasan Amerta tidak dapat diterima, lalu Yayasan Amerta mengajukan Banding dan ternyata gugatan balik tersebut dikabulkan dan sampai di Mahkamah Agung pun Yayasan Amerta dimenangkan sehingga jual beli antara Poniyem dan Yayasan Amerta dinyatakan sah dan tanah obyek sengketa dinyatakan milik sah dari Yayasan Amerta.
11.  Bahwa Alit dan adik-adik mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Kasasi tersebut dan memutus Yayasan Amerta kalah dan tidak berhak atas tanah dari jual beli dengan Poniyem;
12.  Bahwa di lain kasus, Samsu Hardjo sempat mengajukan gugatan kepada Parwati selaku adik dari Pawiro dan Alit dkk atas tanah yang ia dalilkan ialah “sebenarnya yang dijual oleh Poniyem kepada Yayasan Amerta, dijualnya dengan menggunakan nomor persil yang berbeda dengan nomor persil tanah yang dibeli oleh Yayasan Amerta”. Dan pada sengketa ini juga Alit dkk dan Parwati mengajukan gugatan balik kepada Samsu Hardjo yang dimenangkan oleh Alit dkk dan Samsu Hardjo tidak mengajukan banding.
13.  Bahwa pada saat sengketa dengan Samsu Hardjo ini berlangsung, antara Ali dan adik-adiknya mengadakan perjanjian perdamaian kepada Parwati yang isinya bahwa “Alit dan adik-adiknya mengakui bukan anak kandung dari Pawiro, oleh karena itu tanah obyek sengketa menjadi hak mereka (akan dibagi 2 Parwati dengan Alit dkk);
14.  Bahwa setelah sengketa dengan Samsu Hardjo selesai dan dimenangkan Alit dkk dan Parwati dan tidak diajukan banding oleh Samsu, maka tanah obyek sengketa dibalik nama atas nama Parwati yang disetujuan Alit dkk (atas dasar kalah Yayasan Amerta di PK dan menangnya Alit dkk dan Parwati melawan Samsu Hardjo;
15.  Bahwa setelah terbitnya Sertifkat Hak Milik dengan Nomor 26 atas nama Parwati, selanjutnya sertifikat tersebut dipecah menjadi 4 sertifikat dengan No. 261, 262, 263, 264;
16.  Bahwa pada tanggal 7 Desember 1991, setelah dipecahnya 4 sertifikat dilakukan penjualan kepada Petruk, Bagong, Gareng, dan Semar yang masing-masing membeli 1 sertifikat atau 1 bidang tanah/persil;
17.  Bahwa tepatnya pada 5 April 1995, Yayasan Amerta mengajukan permohonan Eksekusi terhadap tanah yang sebelumnya pernah dibeli dan melakukan transaksi dengan Poniyem, dan mengingnkan eksekusi dilakukan pada tahun yang sama yaitu 1995;
18.  Bahwa tidak terima tanah yang dibeli dari pihak Parwati dan Alit dkk akan dieksekusi oleh Yayasan Amerta, Petruk, Bagong, Gareng dan Semar melakukan gugatan terhadap tanahnya kepada Yayasan Amerta pada tahun 1996. Namun, berdasarkan putusan PN Sleman yang dikuatkan oleh Pengandilan Tinggi dan Mahkamah Agung Yayasan Amerta dimenangkan dan tanah tersebut sah milik Yayasan Amerta;
19.  Pada tahun 2001 tepatnya tanggal 4 Februari, Alit dkk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan diterima oleh Mahkamah Agung namun gugatan yang diajukan Alit dkk diputus dinyatakan tidak dapat diterima, dan Mahkamah Agung memerintahkan kepada PN Sleman untuk memeriksa lagi dengan alasan bahwa dulu dalam pemeriksaan di PN Sleman belum dilakukan pembuktian.
Pokok Permasalahan:
1.     apakah perbuatan yang dilakukan oleh  Alit dkk dengan memalsukan dokumen untuk menyatakan Alit dkk adalah anak kandung yang sah dari Poniyem dan Pawiro, dapat dibenarkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia?
2.     Apakah proses balik nama yang dilakukan oleh Alit dkk dan Parwati menjadi Sertifikat Hak Milik atas nama Parwati sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Sedangkan sebelum dinyatakan ahli waris Alit dkk, telah dilakukan jual beli antara ibunya Poniyem dengan Yayasan Amerta?
3.     Apakah dengan di ajukannya permohonan eksekusi oleh Yayasan Amerta dan dimenangkan dari tingkat Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung namun dalam sengketa sebelumnya pada Peninjauan Kembali (PK), Yayasan Amerta kalah dan dinyatakan tidak sah jual belinya, memiliki kekuatan hukum dalam putusan penetapan eksekusi oleh Mahkamah Agung saat ini?
4.     Apakah dengan telah dimenangkannya permohonan eksekusi Yayasan Amerta pada tingkat PN sampai Mahkamah Agung akibat sahnya jual beli tanah dahulu dengan Poniyem, dan ada pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali, apakah dapat menunda jalannya eksekusi?
5.     Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Petruk, Bagong, Gareng dan Semar terhadap tanah yang telah mereka beli dengan sah namun tidak tahu menahu mengenai sengketa yang terjadi pada masa lalu terhadap tanah tersebut dan belum selesai?
6.     Apakah dengan diketahuinya oleh Yayasan Amerta bakwa Alit dkk telah melakukan pemalsuan dokumen untuk dinyatakan ahli waris dapat di gugat? Karena hal tersebut berkaitan dengan dibalik namanya tanah-tanah Yayasan Amerta dan di jual kepada pihak ke tiga. Karena Alit dkk lah, Yayasan Amerta rugi materil dan imateril karena telah melakukan proses persidangan yang bertahun-tahun lama yang menelan biaya tidak sedikit dan kerugian imateril sudah membeli namun tidak dapat menggunakan lahan tersebut akibat diganggu oleh Alit dkk yang ingin menguasai ke 4 persil tanah milik ibu kandung dan bapak tirinya, dan sampai sekarang masih sengketa dan belum dapat di eksekusi?
7.     Proses apa saja yang dapat dilakukan Yayasan Amerta terhadap Ali dkk?

Fakta-Fakta Hukum;
a.     Rujukan Peraturan Perundang-Undangan dan aturan yang berlaku di Indonesia;
1.     Dokumen berdasarkan KBBI dari lama Pusat Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian);
2.     Pasal 263 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun;
3.     Pasal 263 KUHP menyatakan bahwa Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1.     Akta-akta otentik;
2.     Surat hutan atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3.     Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4.     Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5.     Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan
4.     Bahwa  menurut pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, ia mengatakan untuk dapat dihukum dengan Pasal 263 KUHP, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur salah satunya: “penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup. Yang diartikan kerugian di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan masyarakat, kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya (immaterial);
5.     Bahwa istilah itikad baik dalam arti subyektif yaitu kejujuran yang terdapat dalam Pasal 530 KUHPerdata, dimana subyektif ini merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa. Menurut Prof Dr Siti Ismijati Jenie SH CN pengertian itikad baik dalam obyektif disebut sebagai kepatutat. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3) pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “suatu Perjanjian harud dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik terletak ada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh pihak dimana kejujuran bersifat dinamis.
6.     Bahwa pada prinsipnya hanya warga Negara Indonesia yang memiliki hubungan sepenuhnya dengan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Yayasan, Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang social, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dan kekayaannya dapat berubah uang, barang bergerak maupun tidak bergerak dalam hal ini tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah berdasarkan Pasal 1 PP No. 38.1963, badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik yaitu salah satunya: “Badan-Badan Keagamaan, yang ditunjuk oleh Mentei Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
Yayasan sebagai badan hukum keagamaan dan sosial adalah suatu pengecualian dari Undang-Undang Pokok Agraria yang diberikan oleh pemerintah;
Bahwa untuk mendapatkan hak milik ats tanah, yayasan terlebih dahulu harus mempunai surat keputusan penunjukkan sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. (permohonan terlebih dahulu untuk menjadi badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah dengan melampirkan Akta Anggaran Dasar Yayasan, Surat Pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Surat Rekomendasi dari Departemen Agama dan Surat Rekomendasi dari Menteri Sosial;
7.     Dasar Hukum Peralihan Hak-Jual Beli;
1.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960;
2.     Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000;
3.     Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996;
4.     Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
5.     Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002;
6.     Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997;
7.     SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003.
8.     Bahwa proses balik nama oleh orang pribadi yaitu:
1.     Surat Permohonan balik nama yang ditanda tangani oleh pembeli;
2.     Akta jual-beli PPAT;
3.     Sertifikat hak atas tanah;
4.     KTP pembeli dan penjual;
5.     Bukti pelunasan pembayaran PPh;
6.     Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
9.     Bahwa mengenai eksekusi Pasal 196 HIR menyatakan bahwa “jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damat, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingati supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.
10.  Bahwa dengan mengajukannya permohonan eksekusi Yayasan Amerta dan dimenangkan dari PN sampai dengan Mahkamah Agung tentu adanya alasan dan bukti yang kuat sehingga dimenangkannya Yayasan Amerta, baik dari putusan terdahulu melawan Alit dkk namun kalah di PK, dan tentu juga bukti-bukti proses jual beli yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
11.  Bahwa dinyatakan dalam Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung “Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.
12.  Bahwa Pasal 1471 KUHPerdata menyatakan bahwa “Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain; (dasar Yayasan dapat mengajukan eksekusi karena masih miliknya namun dijual kepada ke 4 orang dan dasar juga dalam pertanyaan kenapa yayasan amerta dimenangkan dari PN sampai Mahkamah Agung karena tanah tersebut adalah miliknya).
13.  Bahwa dalam Pasal 832 ayat (1) dikatakan bahwa “menurut Undang-Undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan0peraturan berikut ini”;
14.  Bahwa Pasal 833 ayat (1) menyatakan “Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”. Namun hal ini menjadi berbeda jika ahli waris didapatkan dengan memalsukan dokumen yang menyatakan bahwa ialah anak kandung sedangkan pada kenyataannya tidak;
15.  Bahwa dalam jual beli tanah tidak ada persetujuan dari ahli waris, maka tanah yang dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjual, oleh karenanya berdasarkan Pasal 1471 KUHPerdata, jual beli diatas dinyatakan batal, dan dianggap tidak pernah ada. (Dalam hal ini telah mendapat persetujuan dengan ahli waris, namun menjadi tidak berlaku jika penetapan ahli warisnya didapat dengan bertentangan KUHPidana di Indonesia yaitu dengan memalsukan dokumen-dokumen untuk menyatakan bahwa ialah anak kandung, yang dalam kenyataannya adalah tidak;
16.  Bahwa mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Petruk, Bagong, Gareng dan Semar terhadap tanah yang telah mereka beli dengan sah, yaitu dengan berdasarkan pasal 163 HIR yang menyatakan bahwa “barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu” dan juga dapat membuktikan hak tersebut dengan alat bukti perdata berdasarkan pasal 164 KIR dan pasal 1866 KUHPerdata yaitu Bukti Tulisan/Surat, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan sumpah;
17.  Bahwa tentu dalam mengajukan ganti rugi materiil sudah di atur di Undang-Undang mengenai Keperdataan di Indonesia, mengenai kerugian dalam KUHPerdata yang bersumber dari Wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 jo pasal 1243 dan Kerugian akibat dari perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365;
18.  Bahwa “Kerugian Konsekuensial”, atau yang dikelompokkan juga dengan “kerugian tidak langsung” dan/atau “kerugian punitive/exemplary yang dikenal dalam “Tort Law” pada sistem hukum Common Law adalah sama dengan kerugian Immateril yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum, maka agar dapat dikabulkan tuntutan materil dan immaterial maka harus memenuhi syarat-syarat yaitu:
a.     perbuatan tersebut melawan hukum;
b.     harus ada kesalahan pada pelaku;
c.     harus ada kerugian;
d.     harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
lebih lanjut, pemenuhan tuntutan ganti kerugian Immateril akan mengalami kendala yang tidak mudah dalam pemenuhannya. Hal ini karena pemohon harus membuktikan dalilnya tersebut yang tentunya tidak semudah membuktikan kerugian Materil. Hal ini sangat bergantung kepada subjektifitas Hakim dalam memutus perkara berdasakan prinsip ex aquo et bono. Hal mana dapat dilihat dalam Arrest Hoge Raas tertanggal 31 Desember 1937 Hoetink No. 123;
19.  Bahwa dalam penyelesaian hukum di Indonesia dapat melihat kepada 2 hal, apakah ingin memberikan efek jeranya dengan memenjarakan badan dan juga tentu ada ganti kerugian yang didapat ataupun hanya ingin meminta ganti kerugian. Namun, dalam pidana ganti kerugian tidak sebesar dalam jalur perdata, maka disarankan untuk melalui jalur Perdata agar kerugian materil dan imaterilnya dapat terganti.
b.     Putusan Pengadilan sebagai Yurisprudensi;
1.     putusan Majelis Hakim Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 antara A Thamrin vs. PT. Merantama, Yurisprudensi mengenai kerugian Materiil dan Immateril;
Analisa Yuridis (Penerapan Aturan Hukum Pada Kasus);
1.     Bahwa berdasarkan penjelasan di atas sudah diketahui mengenai Pasal 263 ayat 1 KUHP pemalsuan dokumen (dokumen yaitu akta kelahiran, surat nikah dll berdasarkan pengertian dokumen berdasarkan KBBI) yang dalam hal ini pemalsuan akta kelahiran yang menyebabkan ditetapkannya Alit dkk sebagai sah anak kandung sehingga keluarlah penetapan hakim pada PN Sleman yang menyatakan bahwa Alit dkk adalah ahi waris yang sah karena adalah anak kandung dari Poniyem dan Pawiro. Sedangkan dalam kenyataannya Alit dkk hanya anak kandung dari Poniyem dari pernikahan ibunya terdahulu dengan Kadir, dan mengaku merupakan anak kandung dari Pawiro karena menginginkan harta berupa 4 persil tanah yang dibeli Pawiro dengan Poniyem selama pernikahan keduanya berlangsung;
2.     Bahwa hal ini juga berdasarkan pendapat R. Soesilo mengatakan untuk dapat dihukum dengan Pasal 263 KUHP, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur salah satunya: “penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian”,. Melihat penjelasan ahli diatas tentu sudah adanya kerugian yang diderita oleh Yayasan Amerta dengan melawan Alit dkk sampai tingkat PK yang menyatakan sebagai ahli waris, namun jual beli yang dibeli dari orang tua mereka khususnya ibunya itu dibeli sebelum keluarnya putusan pengadilan mengenai penetapan ahli waris. Dalam KUHP hal ini tidak dibenarkan dan dapat dilaporkan ke Kepolisian sebagai tindak pidana dan dapat dipenjara maksimal delapan tahun;
3.     Bahwa ketika ditanya mengenai apakah proses balik nama yang dilakukan oleh Parwati tentu telah sesuai karena jika tidak sesuai tidak mungkin akan keluarnya sertifikat yang telah balik nama atas nama Parwati tersebut. Namun ketika ditanya mengenai apakah sah balik nama yang dilakukan oleh Parwati sedangkan tanah tersebut telah sah dibeli oleh Yayasan Amerta dengan istri kakanya yaitu Pawiro, hal ini menjadi bimbang karena satu sisi Yayasan Amerta kalah dalam PK dalam mempertanahankan tanah yang dibelinya dengan Poniyem dalam waktu yang lalu, namun satu sisi permohonan eksekusi 2 bidang tanah yang dimilika Yayasan Amerta di terima baik dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi samapi Mahkamah Agung. Dan dalam hal ini pada saat Yayasan sudah menang sampai MA, Alit dkk mengajukan kembali PK namun di tolak dan memerintahkan PN Sleman untuk memeriksan kembali perkara dari awalnya karena pembuktian yuridisnya kurang. Ini berarti bahwa belum dapat dikatakan bahwa balik nama tersebut sah atau tidak sampai menunggu hasil dari pembuktian kembali PN Sleman terhadap yuridis sengketa ini di awal sekali yaitu tentu dengan pembuktian sahnya penetapan ahli waris Alit dkk karena dari merekalah awalnya yang “mengganggu” tanah Yayasan Amerta sehingga sengketa ini sampai panjang dan banyak melibatkan para pihak;
4.     Bahwa jika ditanyakan mengenai apakah memiliki kekuatan hukum dalam putusan penetapan eksekusi yang dimenangkannya Yayasan Amerta sampai Mahkamah Agung saat ini namun dalam sengketa sebelumnya pada Peninjauan Kembali (PK) yang menyatakan tidak sahnya jual beli antara Yayasan Amerta dengan Poniyem maka dalam hal ini telah benar bahwa diajukannya PK lagi oleh Alit dkk dan pada putusannya hakim menyatakan memerintahkan PN Sleman untuk melakukan pembuktian yuridis lagi karena terdapat ketidak sesuaian sengketa yang selama ini dijalankan, maka dari itu dibutuhkan pembuktian kembali agar dapat ditentukan pihak mana yang benar-benar berwenang;
5.     Jika ditanya mengenai apakah permohonan eksekusi sah hal ini tergantung bagaimana sudut pandang hakim menilainya apakah menilainya sejak dari pertama kali jual beli terjadi antara Yayasan Amerta dengan poniyem ataukah melihat setelah masuknya Alit dkk sebagai pihak yang menggugat tanah Yayasan Amerta yang telah dibeli sah dengan poniyem sekalu ibu kandungnya;
6.     Bahwa ada pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali, apakah dapat menunda jalannya eksekusi? Hal ini tentu tidak karena berdasarkan dalam Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung “Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.
7.     Bahwa Berdasarkan Pasal 196 HIR menyatakan bahwa “jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan taat, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingati supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.
8.     Bahwa namun hal ini menjadi berbeda jika adanya pihak yang mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Yayasan Amerta dan dalam putusannya meminta agar PN Sleman memeriksa pembuktian yuridisnya lagi, maka tanah yang disengketakan belum dapat di eksekusi menunggu adanya putusan Pengadilan yang inkrah dalam artian bahwa tidak diajukan lagi upaya hukum dan merupakan putusan yang final;
9.     Bahwa ketika seorang pihak membeli sebidang tanah, dan tanpa mengetahui sebelumnya tanah tersebut masih sengketa atau pihak pembeli telah mengetahui bahwa tanah tersebut sebelumnya sengketa namun telah dimenangkan oleh penjual sehingga sudah tidak ada sengketa lagi, namun belakangan tanah tersebut digugat lagi oleh pihak yang dulu merupakan pihak yang bersengketa juga maka upaya hukum yang dapat dilakukan pembeli yaitu:
a.     bahwa dapat diajukan melalui jalur perdata di Pengadilan Negeri dimana tanah sengketa tersebut berada;
b.     bahwa pembeli harus mengetahui terlebih dahulu perkara ini adalah lingkup perdata (sengketa hak), maka pembeli harus dapat membuktikan hak tersebut dengan alat bukti perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR dan 1866 KUHPerdata yaitu Bukti Tulisan/Surat, Bukti saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Dalam hal ini Pembeli yang akan mendalilkan nanti dipersidangan mengenai hak atas tanahnya, wajib juga menunjukkan Akta Jual Beli yang dibuat antara pembeli dan penjual dan dapat memjelaskan hak atas tanah yang sudah dibeli pembeli dan memperlihatkan juga sertfikat walaupun belum dibalik nama;
c.     bahwa pembeli juga wajib menghadirkan saksi-saksi yang melihat/menyaksikan saat dilakukan jual beli sehingga menguatkan dalil-dalil terlah terjadi peralihan hak yang sah antara pembeli dan penjual, dan juga pembeli sebelumnya juga telah mengetahui tanah ini adalah sengketa dulunya namun telah selesai dengan adanya putusan PK yang menyatakan Yayasan Amerta kalah sehingga dibalik nama oleh Parwati dan Alit dkk, lalu menjualnya kepada pembeli, pembeli juga dapat menunjukkan salinan putusan PK tersebut yang dapat menguatkan dalil-dalil pembeli;
10.  Bahwa dalam penyelesaian hukum di Indonesia dapat melihat kepada 2 hal, apakah ingin memberikan efek jeranya dengan memenjarakan badan ataupun hanya ingin meminta ganti kerugian. Kedua halnya sama yaitu dengan melaporkan kepada pihak kepolisian mengenai adanya pemalsuan dokumen dengan memberikan bukti-bukti yang dipegang dan diketahui dan jika ingin melewati jalur perdata dengan mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan dalam petitumnya meminta digantinya kerugian materiil dan imaterilnya berdasarkan dalik-dalik yang kuat tentunya agar dapat dibekabulkan oleh hakim;

Kesimpulan.
1.     Dalam hal sengketa ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan dibuka lagi pembuktian pada awal tingkat pengadilan untuk membuktikan dari keseluruhan tingkat pengadilan yang telah dilakukan, bagian manakah yang menjadi celah salah dalam penerapan hukumnya, ataupun kurangnya kecakapan hakim dalam mengetahui benar tidaknya suatu pernyataan yang diajukan para pihak. Hal ini yang menjadi penting karena hakim merupakan pihak yang menentukan hukum suatu sengketa
2.     Dalam kasus ini sudah benar Mahkamah Agung untuk memerintahkan kepada PN Sleman untuk melakukan pembuktian yuridis lagi agar semua bisa nyata sesuai dengan alat bukti yang ada dan kenyataan yang benar-benar terjadi di masyarakat.
3.     Bahwa sudah sebaiknya juga Yayasan Amerta terus membela kepentingannya agar juga dengan putusan-putusan yang dikeluarkan pengadilan akibat sengketa yang periksa, membuat hakim-hakim terus berfikir bagaimana menerapkan hukum dengan baik dan terhadap putusannya dapat dijadikan Yurisprudensi yang baik bagi warga masyarakat Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar