Re :
Legal Memorandum
Ref :
Jual Beli Tanah Yang Sedang Sengketa
Loc :
Sleman Yogyakarta
Date :
Update September 2016
Daftar Isi
1. Posisi
Kasus;
2. Pokok
Permasalahan;
3. Fakta-Fakta
Hukum;
a. Rujukan
Peraturan Perundang-Undangan;
b. Putusan
Pengadilan sebagai Yurisprudensi;
4. Analisa
Yuridis (Penerapan Aturan Hukum Pada Kasus);
5. Kesimpulan.
Posisi Kasus:
1.
Bahwa
pada awalnya telah terjadi pernikahan antara Poniyem dengan Kadir 1 Agustus
1950, yang dalam pernikahan tersebut telah lahir 5 orang anak yang masing-masing
bernama Alit, Badu, Cipto, Cempaka, dan Dita dan tinggal di Ngagruk – Ngaglik –
Sleman Yogyakarta;
2.
Bahwa
pada tahun 1960 tepatnya pada bulan Desember tanggal 1, Kadir meninggal dunia;
3.
Bahwa
Poniyem melangsungkan pernikahan lagi dengan Sardjono sekitar tahun 1962 dan
pada tahun 1975 Sardjono meninggal dunia;
4.
Bahwa
selanjutnya Poniyem menikah lagi dengan Pawiro pada 8 September 1976 dan
bertempat tinggal di Condong Catur Depok – Sleman, Yogyakarta. Selama
pernikahan tersebut terjadi Poniyem dan Pawiro tidak memiliki anak sampai
dengan meninggalnya Pawiro pada 7 Juli 1980;
5.
Bahwa
selama pernikahan tersebut, Poniyem dan Pawiro membeli beberapa bidang tanah
yang disebut 4 Persil yang dimasukkan dalam Letter C No. 290/Kld. Atas nama
Poniyem, dimana ke 4 persil (4 bidang tanah) tersebut di sebut girik C No.
290/kld;
6.
Bahwa
setahun setelah meninggalnya Pawiro, pada tahun 1981 tepatnya 5 Januari pada
saat itu Poniyem menjual 2 bidang tanahnya kepada Yayasan Amerta;
7.
Bahwa
disisi lain anak-anak Poniyem yang berjumlah 5 orang dari pernikahan dengan
Kadir, mengurus Penetapan ahli waris untuk mendapatkan harta dari pernikahan
Ibunya yaitu Poniyem dengan bapak tirinya yaitu Pawiro, dimana setelah
mendapatkan surat keterangan kematian (Pawiro) yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Desa Sukaharjo dan/atau Kecamatan Ngaglik dan selanjutnya mengajukan permohonan
penetapan ahli waris ke Pengadilan Negeri Sleman dan berhasil mendapatkan
“Penetapan Ahli Waris”;
8.
Bahwa
dalam Penetapan Ahli Waris tersebut ditetapkan Alit dkk adalah anak dari
perkawinan Poniyem dengan Pawiro dan mereka berhak atas harta peninggalan
Pawiro selama menikah dengan Poniyem (yang merupakan ibu kandung dari Alit dan
adik-adiknya);
9.
Bahwa
setelah adanya penetapan ahli waris, Alit dan adik-adiknya merasa memiliki
wewenang terhadap tanah Poniyem dan Pawiro. Selanjutnya Alit dan adik-adiknya
mengajukan gugatan kepada Yayasan Amerta mengenai tanah 2 bidang yang dibeli
Yayasan Amerta dari ibu Alit dkk yaitu Poniyem. Dan Yayasan Amerta pun tidak
tinggal diam, dan mengajukan gugatan balik/rekonvensi kepada Alit dan
adik-adiknya.
10. Bahwa dalam mengajukan gugatan balik
tersebut, PN Sleman memutuskan gugatan Yayasan Amerta tidak dapat diterima,
lalu Yayasan Amerta mengajukan Banding dan ternyata gugatan balik tersebut
dikabulkan dan sampai di Mahkamah Agung pun Yayasan Amerta dimenangkan sehingga
jual beli antara Poniyem dan Yayasan Amerta dinyatakan sah dan tanah obyek
sengketa dinyatakan milik sah dari Yayasan Amerta.
11. Bahwa Alit dan adik-adik mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Kasasi tersebut dan memutus Yayasan
Amerta kalah dan tidak berhak atas tanah dari jual beli dengan Poniyem;
12. Bahwa di lain kasus, Samsu Hardjo sempat
mengajukan gugatan kepada Parwati selaku adik dari Pawiro dan Alit dkk atas tanah
yang ia dalilkan ialah “sebenarnya yang dijual oleh Poniyem kepada Yayasan
Amerta, dijualnya dengan menggunakan nomor persil yang berbeda dengan nomor
persil tanah yang dibeli oleh Yayasan Amerta”. Dan pada sengketa ini juga Alit
dkk dan Parwati mengajukan gugatan balik kepada Samsu Hardjo yang dimenangkan
oleh Alit dkk dan Samsu Hardjo tidak mengajukan banding.
13. Bahwa pada saat sengketa dengan Samsu
Hardjo ini berlangsung, antara Ali dan adik-adiknya mengadakan perjanjian
perdamaian kepada Parwati yang isinya bahwa “Alit dan adik-adiknya mengakui
bukan anak kandung dari Pawiro, oleh karena itu tanah obyek sengketa menjadi
hak mereka (akan dibagi 2 Parwati dengan Alit dkk);
14. Bahwa setelah sengketa dengan Samsu
Hardjo selesai dan dimenangkan Alit dkk dan Parwati dan tidak diajukan banding
oleh Samsu, maka tanah obyek sengketa dibalik nama atas nama Parwati yang
disetujuan Alit dkk (atas dasar kalah Yayasan Amerta di PK dan menangnya Alit
dkk dan Parwati melawan Samsu Hardjo;
15. Bahwa setelah terbitnya Sertifkat Hak
Milik dengan Nomor 26 atas nama Parwati, selanjutnya sertifikat tersebut
dipecah menjadi 4 sertifikat dengan No. 261, 262, 263, 264;
16. Bahwa pada tanggal 7 Desember 1991,
setelah dipecahnya 4 sertifikat dilakukan penjualan kepada Petruk, Bagong,
Gareng, dan Semar yang masing-masing membeli 1 sertifikat atau 1 bidang
tanah/persil;
17. Bahwa tepatnya pada 5 April 1995, Yayasan
Amerta mengajukan permohonan Eksekusi terhadap tanah yang sebelumnya pernah
dibeli dan melakukan transaksi dengan Poniyem, dan mengingnkan eksekusi
dilakukan pada tahun yang sama yaitu 1995;
18. Bahwa tidak terima tanah yang dibeli dari
pihak Parwati dan Alit dkk akan dieksekusi oleh Yayasan Amerta, Petruk, Bagong,
Gareng dan Semar melakukan gugatan terhadap tanahnya kepada Yayasan Amerta pada
tahun 1996. Namun, berdasarkan putusan PN Sleman yang dikuatkan oleh
Pengandilan Tinggi dan Mahkamah Agung Yayasan Amerta dimenangkan dan tanah
tersebut sah milik Yayasan Amerta;
19. Pada tahun 2001 tepatnya tanggal 4
Februari, Alit dkk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan diterima
oleh Mahkamah Agung namun gugatan yang diajukan Alit dkk diputus dinyatakan
tidak dapat diterima, dan Mahkamah Agung memerintahkan kepada PN Sleman untuk
memeriksa lagi dengan alasan bahwa dulu dalam pemeriksaan di PN Sleman belum
dilakukan pembuktian.
Pokok Permasalahan:
1.
apakah
perbuatan yang dilakukan oleh Alit dkk
dengan memalsukan dokumen untuk menyatakan Alit dkk adalah anak kandung yang
sah dari Poniyem dan Pawiro, dapat dibenarkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) di Indonesia?
2.
Apakah
proses balik nama yang dilakukan oleh Alit dkk dan Parwati menjadi Sertifikat
Hak Milik atas nama Parwati sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
Sedangkan sebelum dinyatakan ahli waris Alit dkk, telah dilakukan jual beli
antara ibunya Poniyem dengan Yayasan Amerta?
3.
Apakah
dengan di ajukannya permohonan eksekusi oleh Yayasan Amerta dan dimenangkan
dari tingkat Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung namun dalam sengketa
sebelumnya pada Peninjauan Kembali (PK), Yayasan Amerta kalah dan dinyatakan
tidak sah jual belinya, memiliki kekuatan hukum dalam putusan penetapan
eksekusi oleh Mahkamah Agung saat ini?
4.
Apakah
dengan telah dimenangkannya permohonan eksekusi Yayasan Amerta pada tingkat PN
sampai Mahkamah Agung akibat sahnya jual beli tanah dahulu dengan Poniyem, dan
ada pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali, apakah dapat menunda jalannya
eksekusi?
5.
Bagaimana
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Petruk, Bagong, Gareng dan Semar terhadap
tanah yang telah mereka beli dengan sah namun tidak tahu menahu mengenai
sengketa yang terjadi pada masa lalu terhadap tanah tersebut dan belum selesai?
6.
Apakah
dengan diketahuinya oleh Yayasan Amerta bakwa Alit dkk telah melakukan
pemalsuan dokumen untuk dinyatakan ahli waris dapat di gugat? Karena hal
tersebut berkaitan dengan dibalik namanya tanah-tanah Yayasan Amerta dan di
jual kepada pihak ke tiga. Karena Alit dkk lah, Yayasan Amerta rugi materil dan
imateril karena telah melakukan proses persidangan yang bertahun-tahun lama yang
menelan biaya tidak sedikit dan kerugian imateril sudah membeli namun tidak
dapat menggunakan lahan tersebut akibat diganggu oleh Alit dkk yang ingin
menguasai ke 4 persil tanah milik ibu kandung dan bapak tirinya, dan sampai
sekarang masih sengketa dan belum dapat di eksekusi?
7.
Proses
apa saja yang dapat dilakukan Yayasan Amerta terhadap Ali dkk?
Fakta-Fakta Hukum;
a. Rujukan
Peraturan Perundang-Undangan dan aturan yang berlaku di Indonesia;
1.
Dokumen
berdasarkan KBBI dari lama Pusat Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti
keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian);
2.
Pasal
263 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa Barang siapa yang membuat surat palsu atau
memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan
hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun;
3.
Pasal
263 KUHP menyatakan bahwa Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling
lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1.
Akta-akta
otentik;
2.
Surat
hutan atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya ataupun dari
suatu lembaga umum;
3.
Surat
sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan,
yayasan, perseroan atau maskapai;
4.
Talon,
tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2
dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5.
Surat
kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan
4.
Bahwa menurut pendapat R. Soesilo dalam bukunya
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, ia mengatakan untuk dapat dihukum dengan Pasal 263 KUHP,
perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur salah satunya: “penggunaannya
harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan
adanya kerugian itu sudah cukup. Yang diartikan kerugian di sini tidak saja
hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan masyarakat,
kesusilaan, kehormatan, dan sebagainya (immaterial);
5.
Bahwa
istilah itikad baik dalam arti subyektif yaitu kejujuran yang terdapat dalam
Pasal 530 KUHPerdata, dimana subyektif ini merupakan sikap batin atau suatu
keadaan jiwa. Menurut Prof Dr Siti Ismijati Jenie SH CN pengertian itikad baik
dalam obyektif disebut sebagai kepatutat. Hal ini dirumuskan dalam ayat (3)
pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “suatu Perjanjian harud dilaksanakan dengan
itikad baik”. Itikad baik terletak ada keadaan jiwa manusia, akan tetapi
terletak pada tindakan yang dilakukan oleh pihak dimana kejujuran bersifat
dinamis.
6.
Bahwa
pada prinsipnya hanya warga Negara Indonesia yang memiliki hubungan sepenuhnya
dengan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Yayasan,
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang social, keagamaan, dan
kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dan kekayaannya dapat berubah uang,
barang bergerak maupun tidak bergerak dalam hal ini tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah berdasarkan Pasal 1 PP No. 38.1963, badan-badan hukum yang dapat
mempunyai tanah hak milik yaitu salah satunya: “Badan-Badan Keagamaan, yang
ditunjuk oleh Mentei Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
Yayasan sebagai badan hukum keagamaan dan
sosial adalah suatu pengecualian dari Undang-Undang Pokok Agraria yang
diberikan oleh pemerintah;
Bahwa untuk mendapatkan hak milik ats
tanah, yayasan terlebih dahulu harus mempunai surat keputusan penunjukkan
sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. (permohonan
terlebih dahulu untuk menjadi badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah dengan melampirkan Akta Anggaran Dasar Yayasan, Surat Pengesahan dari
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Surat Rekomendasi dari Departemen Agama
dan Surat Rekomendasi dari Menteri Sosial;
7.
Dasar
Hukum Peralihan Hak-Jual Beli;
1.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960;
2.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000;
3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996;
4.
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
5.
Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002;
6.
Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997;
7.
SE
Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003.
8.
Bahwa
proses balik nama oleh orang pribadi yaitu:
1.
Surat
Permohonan balik nama yang ditanda tangani oleh pembeli;
2.
Akta
jual-beli PPAT;
3.
Sertifikat
hak atas tanah;
4.
KTP
pembeli dan penjual;
5.
Bukti
pelunasan pembayaran PPh;
6.
Bukti
pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
9.
Bahwa
mengenai eksekusi Pasal 196 HIR menyatakan bahwa “jika pihak yang dikalahkan
tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damat, maka pihak
yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat,
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat
menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu
serta memperingati supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang
ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.
10. Bahwa dengan mengajukannya permohonan
eksekusi Yayasan Amerta dan dimenangkan dari PN sampai dengan Mahkamah Agung
tentu adanya alasan dan bukti yang kuat sehingga dimenangkannya Yayasan Amerta,
baik dari putusan terdahulu melawan Alit dkk namun kalah di PK, dan tentu juga
bukti-bukti proses jual beli yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
11. Bahwa dinyatakan dalam Pasal 66 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung “Permohonan Peninjauan
Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.
12. Bahwa Pasal 1471 KUHPerdata menyatakan
bahwa “Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar
kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia
tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain; (dasar Yayasan dapat mengajukan
eksekusi karena masih miliknya namun dijual kepada ke 4 orang dan dasar juga
dalam pertanyaan kenapa yayasan amerta dimenangkan dari PN sampai Mahkamah
Agung karena tanah tersebut adalah miliknya).
13. Bahwa dalam Pasal 832 ayat (1) dikatakan
bahwa “menurut Undang-Undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga
sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan,
dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan0peraturan berikut
ini”;
14. Bahwa Pasal 833 ayat (1) menyatakan “Para
ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang,
semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”. Namun hal ini menjadi
berbeda jika ahli waris didapatkan dengan memalsukan dokumen yang menyatakan
bahwa ialah anak kandung sedangkan pada kenyataannya tidak;
15. Bahwa dalam jual beli tanah tidak ada persetujuan
dari ahli waris, maka tanah yang dijual oleh orang yang tidak berhak untuk
menjual, oleh karenanya berdasarkan Pasal 1471 KUHPerdata, jual beli diatas
dinyatakan batal, dan dianggap tidak pernah ada. (Dalam hal ini telah mendapat
persetujuan dengan ahli waris, namun menjadi tidak berlaku jika penetapan ahli
warisnya didapat dengan bertentangan KUHPidana di Indonesia yaitu dengan
memalsukan dokumen-dokumen untuk menyatakan bahwa ialah anak kandung, yang
dalam kenyataannya adalah tidak;
16. Bahwa mengenai upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh Petruk, Bagong, Gareng dan Semar terhadap tanah yang telah
mereka beli dengan sah, yaitu dengan berdasarkan pasal 163 HIR yang menyatakan
bahwa “barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan
sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”
dan juga dapat membuktikan hak tersebut dengan alat bukti perdata berdasarkan
pasal 164 KIR dan pasal 1866 KUHPerdata yaitu Bukti Tulisan/Surat, Bukti Saksi,
Persangkaan, Pengakuan, dan sumpah;
17. Bahwa tentu dalam mengajukan ganti rugi
materiil sudah di atur di Undang-Undang mengenai Keperdataan di Indonesia,
mengenai kerugian dalam KUHPerdata yang bersumber dari Wanprestasi diatur dalam
Pasal 1238 jo pasal 1243 dan Kerugian akibat dari perbuatan Melawan Hukum
diatur dalam Pasal 1365;
18. Bahwa “Kerugian Konsekuensial”, atau yang
dikelompokkan juga dengan “kerugian tidak langsung” dan/atau “kerugian punitive/exemplary yang dikenal dalam “Tort Law” pada sistem hukum Common Law
adalah sama dengan kerugian Immateril yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata
mengenai perbuatan melawan hukum, maka agar dapat dikabulkan tuntutan materil
dan immaterial maka harus memenuhi syarat-syarat yaitu:
a.
perbuatan
tersebut melawan hukum;
b.
harus
ada kesalahan pada pelaku;
c.
harus
ada kerugian;
d.
harus
ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
lebih
lanjut, pemenuhan tuntutan ganti kerugian Immateril akan mengalami kendala yang
tidak mudah dalam pemenuhannya. Hal ini karena pemohon harus membuktikan
dalilnya tersebut yang tentunya tidak semudah membuktikan kerugian Materil. Hal
ini sangat bergantung kepada subjektifitas Hakim dalam memutus perkara
berdasakan prinsip ex aquo et bono. Hal mana dapat dilihat dalam Arrest Hoge
Raas tertanggal 31 Desember 1937 Hoetink No. 123;
19. Bahwa dalam penyelesaian hukum di
Indonesia dapat melihat kepada 2 hal, apakah ingin memberikan efek jeranya
dengan memenjarakan badan dan juga tentu ada ganti kerugian yang didapat ataupun
hanya ingin meminta ganti kerugian. Namun, dalam pidana ganti kerugian tidak
sebesar dalam jalur perdata, maka disarankan untuk melalui jalur Perdata agar
kerugian materil dan imaterilnya dapat terganti.
b. Putusan
Pengadilan sebagai Yurisprudensi;
1.
putusan
Majelis Hakim Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 antara A Thamrin vs. PT.
Merantama, Yurisprudensi mengenai kerugian Materiil dan Immateril;
Analisa Yuridis (Penerapan Aturan Hukum
Pada Kasus);
1.
Bahwa
berdasarkan penjelasan di atas sudah diketahui mengenai Pasal 263 ayat 1 KUHP
pemalsuan dokumen (dokumen yaitu akta kelahiran, surat nikah dll berdasarkan
pengertian dokumen berdasarkan KBBI) yang dalam hal ini pemalsuan akta
kelahiran yang menyebabkan ditetapkannya Alit dkk sebagai sah anak kandung
sehingga keluarlah penetapan hakim pada PN Sleman yang menyatakan bahwa Alit
dkk adalah ahi waris yang sah karena adalah anak kandung dari Poniyem dan
Pawiro. Sedangkan dalam kenyataannya Alit dkk hanya anak kandung dari Poniyem
dari pernikahan ibunya terdahulu dengan Kadir, dan mengaku merupakan anak
kandung dari Pawiro karena menginginkan harta berupa 4 persil tanah yang dibeli
Pawiro dengan Poniyem selama pernikahan keduanya berlangsung;
2.
Bahwa
hal ini juga berdasarkan pendapat R. Soesilo mengatakan untuk dapat dihukum
dengan Pasal 263 KUHP, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur salah
satunya: “penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian”,. Melihat penjelasan
ahli diatas tentu sudah adanya kerugian yang diderita oleh Yayasan Amerta
dengan melawan Alit dkk sampai tingkat PK yang menyatakan sebagai ahli waris,
namun jual beli yang dibeli dari orang tua mereka khususnya ibunya itu dibeli
sebelum keluarnya putusan pengadilan mengenai penetapan ahli waris. Dalam KUHP
hal ini tidak dibenarkan dan dapat dilaporkan ke Kepolisian sebagai tindak
pidana dan dapat dipenjara maksimal delapan tahun;
3.
Bahwa
ketika ditanya mengenai apakah proses balik nama yang dilakukan oleh Parwati
tentu telah sesuai karena jika tidak sesuai tidak mungkin akan keluarnya
sertifikat yang telah balik nama atas nama Parwati tersebut. Namun ketika
ditanya mengenai apakah sah balik nama yang dilakukan oleh Parwati sedangkan
tanah tersebut telah sah dibeli oleh Yayasan Amerta dengan istri kakanya yaitu
Pawiro, hal ini menjadi bimbang karena satu sisi Yayasan Amerta kalah dalam PK
dalam mempertanahankan tanah yang dibelinya dengan Poniyem dalam waktu yang
lalu, namun satu sisi permohonan eksekusi 2 bidang tanah yang dimilika Yayasan
Amerta di terima baik dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi samapi Mahkamah
Agung. Dan dalam hal ini pada saat Yayasan sudah menang sampai MA, Alit dkk
mengajukan kembali PK namun di tolak dan memerintahkan PN Sleman untuk
memeriksan kembali perkara dari awalnya karena pembuktian yuridisnya kurang.
Ini berarti bahwa belum dapat dikatakan bahwa balik nama tersebut sah atau
tidak sampai menunggu hasil dari pembuktian kembali PN Sleman terhadap yuridis
sengketa ini di awal sekali yaitu tentu dengan pembuktian sahnya penetapan ahli
waris Alit dkk karena dari merekalah awalnya yang “mengganggu” tanah Yayasan
Amerta sehingga sengketa ini sampai panjang dan banyak melibatkan para pihak;
4.
Bahwa
jika ditanyakan mengenai apakah memiliki kekuatan hukum dalam putusan penetapan
eksekusi yang dimenangkannya Yayasan Amerta sampai Mahkamah Agung saat ini
namun dalam sengketa sebelumnya pada Peninjauan Kembali (PK) yang menyatakan
tidak sahnya jual beli antara Yayasan Amerta dengan Poniyem maka dalam hal ini
telah benar bahwa diajukannya PK lagi oleh Alit dkk dan pada putusannya hakim
menyatakan memerintahkan PN Sleman untuk melakukan pembuktian yuridis lagi
karena terdapat ketidak sesuaian sengketa yang selama ini dijalankan, maka dari
itu dibutuhkan pembuktian kembali agar dapat ditentukan pihak mana yang
benar-benar berwenang;
5.
Jika
ditanya mengenai apakah permohonan eksekusi sah hal ini tergantung bagaimana
sudut pandang hakim menilainya apakah menilainya sejak dari pertama kali jual
beli terjadi antara Yayasan Amerta dengan poniyem ataukah melihat setelah
masuknya Alit dkk sebagai pihak yang menggugat tanah Yayasan Amerta yang telah
dibeli sah dengan poniyem sekalu ibu kandungnya;
6.
Bahwa
ada pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali, apakah dapat menunda jalannya
eksekusi? Hal ini tentu tidak karena berdasarkan dalam Pasal 66 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung “Permohonan Peninjauan
Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan”.
7.
Bahwa
Berdasarkan Pasal 196 HIR menyatakan bahwa “jika pihak yang dikalahkan tidak
mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan taat, maka pihak yang
menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada ayat pertama Pasal 195, buat
menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu
serta memperingati supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang
ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.
8.
Bahwa
namun hal ini menjadi berbeda jika adanya pihak yang mengajukan PK terhadap
putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Yayasan Amerta dan dalam putusannya
meminta agar PN Sleman memeriksa pembuktian yuridisnya lagi, maka tanah yang
disengketakan belum dapat di eksekusi menunggu adanya putusan Pengadilan yang
inkrah dalam artian bahwa tidak diajukan lagi upaya hukum dan merupakan putusan
yang final;
9.
Bahwa
ketika seorang pihak membeli sebidang tanah, dan tanpa mengetahui sebelumnya
tanah tersebut masih sengketa atau pihak pembeli telah mengetahui bahwa tanah
tersebut sebelumnya sengketa namun telah dimenangkan oleh penjual sehingga
sudah tidak ada sengketa lagi, namun belakangan tanah tersebut digugat lagi
oleh pihak yang dulu merupakan pihak yang bersengketa juga maka upaya hukum
yang dapat dilakukan pembeli yaitu:
a.
bahwa
dapat diajukan melalui jalur perdata di Pengadilan Negeri dimana tanah sengketa
tersebut berada;
b.
bahwa
pembeli harus mengetahui terlebih dahulu perkara ini adalah lingkup perdata
(sengketa hak), maka pembeli harus dapat membuktikan hak tersebut dengan alat
bukti perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR dan 1866 KUHPerdata yaitu
Bukti Tulisan/Surat, Bukti saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Dalam hal
ini Pembeli yang akan mendalilkan nanti dipersidangan mengenai hak atas
tanahnya, wajib juga menunjukkan Akta Jual Beli yang dibuat antara pembeli dan
penjual dan dapat memjelaskan hak atas tanah yang sudah dibeli pembeli dan
memperlihatkan juga sertfikat walaupun belum dibalik nama;
c.
bahwa
pembeli juga wajib menghadirkan saksi-saksi yang melihat/menyaksikan saat
dilakukan jual beli sehingga menguatkan dalil-dalil terlah terjadi peralihan
hak yang sah antara pembeli dan penjual, dan juga pembeli sebelumnya juga telah
mengetahui tanah ini adalah sengketa dulunya namun telah selesai dengan adanya
putusan PK yang menyatakan Yayasan Amerta kalah sehingga dibalik nama oleh
Parwati dan Alit dkk, lalu menjualnya kepada pembeli, pembeli juga dapat
menunjukkan salinan putusan PK tersebut yang dapat menguatkan dalil-dalil
pembeli;
10. Bahwa dalam penyelesaian hukum di
Indonesia dapat melihat kepada 2 hal, apakah ingin memberikan efek jeranya
dengan memenjarakan badan ataupun hanya ingin meminta ganti kerugian. Kedua
halnya sama yaitu dengan melaporkan kepada pihak kepolisian mengenai adanya
pemalsuan dokumen dengan memberikan bukti-bukti yang dipegang dan diketahui dan
jika ingin melewati jalur perdata dengan mengajukan gugatan Perbuatan Melawan
Hukum dan dalam petitumnya meminta digantinya kerugian materiil dan imaterilnya
berdasarkan dalik-dalik yang kuat tentunya agar dapat dibekabulkan oleh hakim;
Kesimpulan.
1.
Dalam
hal sengketa ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan dibuka lagi pembuktian
pada awal tingkat pengadilan untuk membuktikan dari keseluruhan tingkat
pengadilan yang telah dilakukan, bagian manakah yang menjadi celah salah dalam
penerapan hukumnya, ataupun kurangnya kecakapan hakim dalam mengetahui benar
tidaknya suatu pernyataan yang diajukan para pihak. Hal ini yang menjadi
penting karena hakim merupakan pihak yang menentukan hukum suatu sengketa
2.
Dalam
kasus ini sudah benar Mahkamah Agung untuk memerintahkan kepada PN Sleman untuk
melakukan pembuktian yuridis lagi agar semua bisa nyata sesuai dengan alat
bukti yang ada dan kenyataan yang benar-benar terjadi di masyarakat.
3.
Bahwa
sudah sebaiknya juga Yayasan Amerta terus membela kepentingannya agar juga
dengan putusan-putusan yang dikeluarkan pengadilan akibat sengketa yang
periksa, membuat hakim-hakim terus berfikir bagaimana menerapkan hukum dengan
baik dan terhadap putusannya dapat dijadikan Yurisprudensi yang baik bagi warga
masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar